Dari Meja Wan Rasidah
e-mail : wanrasidah@ptptn.gov.my
*kredit gambar : gettyimages
Suatu hari saya dibelanja oleh teman saya makan mee di kedai mee yang agak terkenal. Harganya tak mahal tetapi sedap. Kami duduk di meja bulat yang dapat menampung sepuluh orang bila mengelilingi meja. Di meja itu ada enam orang, saya, teman saya dan empat orang kawan yang lain.
Ketika asyik makan, satu keluarga baru duduk di sebelah kami. Mereka telah memesan mee dan sedang menunggu pesanan.. Keluarga tersebut terdiri daripada sepasang suami isteri yang masih muda dan seorang anak yang berusia dalam enam tahun. Mereka keluarga yang jauh dari sederhana. Pakaian mereka lusuh dan kusam. Anaknya kelihatan seperti baru sembuh dari penyakit dan sedang menarik hingusnya keluar masuk. Hingusnya seperti nombor sebelas dan kadang2 seperti angka satu dengan warna kuning kehijau-hijauan. Si ibu dengan penuh kasih sayang mengelap hingus yang tidak berhenti keluar masuk hidung anaknya. Pasangan itu sangat bahagia melihat anaknya bermain sambil tertawa. Seperti makan mee itu merupakan perayaan menyambut kesembuhannya. Ketika mee sudah sampai keluarga tersebut makan dengan lahapnya.
Keadaan tersebut tidak berlaku bagi kami semua terkecuali teman saya. Bagi kami berlima (termasuk saya) keadaan tersebut merupakan bencana dan penyiksaan. Bayangkan, bagaimana rasanya makan mee dengan mencium satu keluarga yang bau badannya tidak enak. Belum lagi melihat dan mendengar hingus yang ditarik keluar masuk dan sesekali dibersihkan oleh ibunya. Setiap kali menyuap mee ke mulut sambil menghirup kuahnya, rasanya seperti hingus telah tercampur dengan makanan dan membuat selera makan hilang.
Ketika asyik makan, satu keluarga baru duduk di sebelah kami. Mereka telah memesan mee dan sedang menunggu pesanan.. Keluarga tersebut terdiri daripada sepasang suami isteri yang masih muda dan seorang anak yang berusia dalam enam tahun. Mereka keluarga yang jauh dari sederhana. Pakaian mereka lusuh dan kusam. Anaknya kelihatan seperti baru sembuh dari penyakit dan sedang menarik hingusnya keluar masuk. Hingusnya seperti nombor sebelas dan kadang2 seperti angka satu dengan warna kuning kehijau-hijauan. Si ibu dengan penuh kasih sayang mengelap hingus yang tidak berhenti keluar masuk hidung anaknya. Pasangan itu sangat bahagia melihat anaknya bermain sambil tertawa. Seperti makan mee itu merupakan perayaan menyambut kesembuhannya. Ketika mee sudah sampai keluarga tersebut makan dengan lahapnya.
Keadaan tersebut tidak berlaku bagi kami semua terkecuali teman saya. Bagi kami berlima (termasuk saya) keadaan tersebut merupakan bencana dan penyiksaan. Bayangkan, bagaimana rasanya makan mee dengan mencium satu keluarga yang bau badannya tidak enak. Belum lagi melihat dan mendengar hingus yang ditarik keluar masuk dan sesekali dibersihkan oleh ibunya. Setiap kali menyuap mee ke mulut sambil menghirup kuahnya, rasanya seperti hingus telah tercampur dengan makanan dan membuat selera makan hilang.
Tidak beberapa lama kemudian, keempat kawan yang duduk semeja dengan kami meninggalkan meja satu persatu- tanpa menghabiskan makanan. Melihat ini ada rasa kepahitan yang terpancar di wajah keluarga muda itu, seperti rasa rendah diri dan terasing melihat sikap saya dan empat lainnya. Tetapi itu tidak lama, terutama ketika mereka melihat teman saya, keceriaan mereka pulih kembali. Teman saya tetap menikmati mee tanpa mengendahkan orang lain. Seolah-olah tidak ada bau di sekitarnya dan tidak ada bunyi hingus. Saya juga terpaksa berpura2 tidak endah dan terus menghabiskan mee kerana mahu menghormati teman saya yang belanja saya makan. Selesai makan, kami masih duduk dua puluh minit sebelum meninggalkan kedai makan. Saya pelik dengan teman saya yang luar biasa. Biasanya setelah makan, dia hanya duduk paling lama sepuluh minit. Sekali lagi saya terpaksa menemani teman saya dengan perasaan yang sangat jengkel.
Akhirnya kami keluar meninggalkan kedai dan keluarga muda, saya merasa lega. Dalam perjalanan pulang, teman saya mengatakan dia sangat terganggu duduk berhampiran keluarga tersebut. Ia merasa ada bau dan terganggu dengan bunyi hingus anaknya itu. Dia juga merasa seperti apa yang saya rasakan.
Teman saya juga mengatakan, jika dia meninggalkan keluarga tersebut ketika mereka bergembira, keluarga itu akan merasa terpukul, tidak berharga, terasing dan putus asa. Si suami sedang memberi yang terbaik bagi keluarganya. Mereka bersukacita merayakan kesembuhan anaknya. Si suami telah mengeluarkan wang yang bagi mereka cukup mahal dari hasil kerja keras hanya untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Wang itu tidak begitu banyak untuk ukuran kami tetapi tidak bagi keluarga itu.
Saya sangat terkejut mendengar kata kata teman saya. Dan tidak menyangka teman saya telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi keluarga itu. Dengan caranya yang berbeza - bertahan makan mee sampai habis dan menunggu dua puluh minit setelah makan, telah memberi semangat baru bagi keluarga itu. Saya teringat bagaimana rasa kepahitan, rendah diri dan terasing di wajah kedua suami isteri itu ketika melihat pelanggan yang lain meninggalkan meja tanpa menghabiskan makanan dan melihat tingkah saya. Saya juga teringat bagaimana pasangan ini kembali ceria begitu melihat sikap teman saya yang tidak kisah.
Pertama kali dalam hidup ini, saya menyedari bagaimana utk mengasihi sesama manusia tanpa mengatakannya benar-benar tidak mustahil. Teman saya dapat menunjukkan kasih sayang kepada sesama saudara tanpa perkataan dalam waktu sesingkat itu. Cukup hanya dengan meneruskan makan mee sampai habis.
Menunggu dua puluh minit setelah selesai makan. Yang terakhir menahan rasa bau untuk menyempurnakan segalanya telah menunjukkan suatu keajaiban kasih dan dilakukan oleh seorang teman. Ajaib bagaimana teman saya menegur saya tanpa mengatakan sesuatu. Dia tidak menuduh tetapi cukup membuat saya rasa sangat terpukul dan malu tetapi tidak marah.
Saya kembali mengingatkan diri sendiri bagaimana selalunya kita mengatakan mengasihi sesama manusia tetapi tidak pernah melakukannya.
0 comments:
Post a Comment